Senin, 30 Maret 2009

Ikan Untuk Perbaikan Kualitas Anak Indonesia

Ikan Untuk Perbaikan Kualitas Anak Indonesia


Kamis, 27 Desember, 2001 oleh: hanny
Ikan Untuk Perbaikan Kualitas Anak Indonesia
Gizi.net - Krisis ekonomi berkelanjutan berdampak buruk bagi pengembangan sumber daya bangsa Indonesia. Unicef 1999 menyebutkan, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 80 persen, pengangguran nyata 17 juta orang, dan tingkat kemiskinan 174 juta orang. Semua ini berdampak pada kekurangan pangan, yang menurunkan kualitas kesehatan dan status gizi masyarakat.

Hingga saat ini masalah gizi utama di Indonesia ada empat, yaitu kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, kekurangan yodium dan kurang vitamin A. KEP merupakan masalah gizi yang paling banyak terjadi, terbukti dengan ditemukannya anak balita (usia 1-5 tahun) penderita KEP berat (marasmus dan kwashiorkor).

Kwashiorkor disebabkan oleh kekurangan protein dan diderita bayi usia enam bulan dan anak balita. Sedang penyebab marasmus adalah kekurangan kalori dan energi atau gejala kekurangan pangan secara keseluruhan (kelaparan).

KEP ditemukan pada 35,4 persen anak balita (sekitar 8,5 juta jiwa) tahun 1995, dan meningkat menjadi 39,8 persen tahun 1998. Data Unicef tahun 1999 menunjukkan, 10-12 juta (50-69,7 persen) anak balita Indonesia (empat juta diantaranya di bawah satu tahun) berstatus gizi sangat buruk dan mengakibatkan kematian.

Masa balita adalah the point of no return . Perkembangan otak tidak bisa diperbaiki bila mereka kekurangan gizi pada masa ini. Pertumbuhan fisik dan intelektualitas anak akan terganggu. Hal ini menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang, dan negara kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas.

Degradasi kualitas

Situasi rawan gizi pada anak balita dan usia sekolah tidak boleh dipandang sebelah mata, karena menimbulkan akibat lanjutan yang kompleks dan berujung pada degradasi kualitas sumber daya. Hal itu karena pertama, masalah gizi yang parah pada usia muda akan menghambat laju tumbuh kembang keadaan fisik anak. KEP berkelanjutan membuat anak menderita marasmus-kwashiorkor. Kekurangan yodium dalam jangka panjang dapat menimbulkan gondok endemik, bahkan mengakibatkan kretinisme atau cebol.

Anemia zat gizi besi berkepanjangan menghambat pertumbuhan fisik, meningkatkan risiko penyakit infeksi, bahkan menghambat aktivitas kognitif dan daya tahan fisik. Akibat buruk lainnya adalah kekurangan gizi akan meningkatkan jumlah anak dengan tinggi badan terhambat, 10 cm lebih pendek dibandingkan anak sehat berusia sama.

Kedua, masalah gizi menghambat perkembangan kecerdasan. Kasus malnutrisi akan menyebabkan Indonesia kehilangan lebih dari 200 juta angka potensi IQ/tahun (30 persen dari peluang produktivitas).

Ketiga, penyakit degeneratif pada usia muda—yang bukan disebabkan oleh faktor genetika—dapat timbul akibat masalah gizi. Pada penderita gizi buruk, struktur sel-sel tubuh tidak tumbuh sempurna. Misalnya jumlah pertumbuhan sel otak tidak maksimum, terjadinya jantung koroner, serta rusaknya pankreas yang mengakibatkan insulin tidak berfungsi optimal sehingga anak menderita diabetes.

Keempat, malnutrisi berkelanjutan meningkatkan angka kematian anak. Setiap tahun diperkirakan tujuh persen anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa) meninggal. Ini berarti setiap dua menit terjadi kematian satu anak balita dan 170.000 anak (60 persen) di antaranya akibat gizi buruk.

Kasus gizi buruk pada anak-anak Indonesia harus pula dilihat dari perspektif keadilan dan hak azasi manusia (HAM). Ini dapat dirujuk pada UUD 1945, UU No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak (telah diratifikasi dengan Keppres No 36/1990, serta UU No 7/1996 tentang Pangan.

Negara memiliki tiga kewajiban untuk memenuhi hak atas kecukupan pangan warga, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi segala kebutuhannya. Jadi penanggulangan gizi buruk melalui pengadaan dan ketersediaan pangan berkelanjutan merupakan tanggung jawab negara. Timbulnya kasus malnutrisi pada anak dapat dikatakan sebagai pengabaian anak oleh negara ataupun perlakuan salah pada anak oleh negara. Pada tingkat terjadinya maslah gizi yang parah, dapat dikatakan negara telah melakukan sikap kekerasan, mengarah pada terjadinya pelanggaran hak asasi masyarakat oleh negara.

Langkah preventif

Beberapa langkah preventif dalam menanggulangi masalah gizi dapat dilakukan pemerintah. Perama, menjamin ketersediaan pangan asal darat dan laut di seluruh negeri. Ketersediaan pangan masih menjadi masalah besar negeri ini. Tahun 1998, Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia dengan mengimpor 5,8 juta ton beras (48 persen) produksi beras dunia. Karena itu program diversifikasi pangan perlu dioptimalkan kembali, untuk mengurangi ketergantungan pada beras.

Gerakan makan ikan mendesak dibudayakan lagi, terutama untuk memenuhi kecukupan gizi anak balita, Ikan, dengan kandungan protein berkisar antara 20-35 persen, berpotensi tinggi menjadi sumber protein utama dalam konsumsi pangan karena kelengkapan komposisi kandungan asam amino esensial serta mutu daya cernanya yang setara dengan telur.

Kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan tingginya kandungan asam lemak tak jenuh omega 3 (DHA, docosahexaenoic acid, C20 H30O2) yang kurang dimiliki oleh produk daratan (hewani dan nabati), merupakan keunggulan produk kelautan. Budaya makan ikan yang tinggi dalam masyarakat Jepang telah membuktikan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan dan kecerdasan anak-anak negara itu.

Adanya kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara maritim (luas laut 5,8 juta km2), menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Kekayaan laut Indonesia, ternyata baru sekitar 58,5 persen dari potensi lestari ikan laut (6,18 juta ton per tahun) yang dimanfaatkan saat ini, sehingga optimalisasi pemanfataan sumber daya kelautan masih jauh dari harapan.

Tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia tahun 1997 adalah 18kg/kapita/tahun dan diharapkan menjadi 21,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2003. Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun ini menunjukkan masih rendahnya budaya makan ikan dibandingkan negara-negara lain seperti Jepang (110 kg), Korea Selatan (85 kg), Amerika Serikat (80 kg), Singapura (80 kg), Hongkong (85 kg), Malaysia (45 kg), Thailand (35 kg), Philipina (24 kg). Penyebabnya adalah rendahnya tingkat pengetahuan gizi ikan, ketrampilan mengolah hasil perikanan, selain terbatasnya teknologi penangkapan ikan nelayan.

Kedua, meningkatkan daya beli masyarakat. Secara umum masyarakat Indonesia telah mampu mengonsumsi makanan yang secara kuantitatif mencukupi. Namun, dari segi kualitatif, masih banyak yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya.

Ketiga, meningkatkan mutu pendidikan gizi dan kesehatan dalam masyarakat. Hal ini dirasakan penting karena walaupun langkah pertama dan kedua berhasil dicapai, bila tidak disertai dengan peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan masyarakat, timbulnya kasus balita gizi buruk tetap berpeluang terjadi. Hal ini terbukti dengan adanya 30 persen kasus gizi buruk di Indonesia akibat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan.

Disadari atau tidak, hilangnya suatu generasi telah terjadi di negeri ini. Maka apabila kondisi ini tidak segera diatasi, generasi mendatang akan menjadi generasi yang berkualitas inferior dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan indeks sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) dari UNDP, di tahun 2000 ini peringkat SDM Indonesia berada diurutan 109 dari 174 negara, terendah di antara negara-negara Asia.

Peringkat Indonesia di tahun 2000 itu menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1998, saat itu SDM Indonesia menduduki peringkat 96. Sementara Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura masing-masing berada pada peringkat 77, 67, 56, 25 dan 22 pada tahun 200 itu. Ini artinya Indonesia menjadi bangsa paling terpuruk di ASEAN saat memasuki AFTA 2003. Pengabaian segala upaya pengentasan masalah gizi buruk, akan menghancurkan masalah bangsa.

Dr Ir Mita Wahyuni MS, staf pengajar jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sumber : Kompas, Minggu, 23 Desember 2001

Tidak ada komentar: